Minggu, 11 Desember 2011

Pemanasan Global pada "Masa yang akan datang"

Setelah 19 tahun berlalu dan konferensi perubahan iklim PBB berjalan hingga 17 kali berdasarkan hasil penelitian Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang beranggotakan lebih dari 2.300 orang, dari segi keilmuan terus bermunculan keberatan dari kelompok ilmuwan lainnya yang hanya berjumlah ratusan.
Kondisi pertama-tama yang menjadi dasar perhitungan adalah kehadiran manusia dan aktivitasnya, di mana dalam aktivitas tersebut manusia melepas dan menyerap energi. Akibatnya, kehangatan sinar matahari dan kesetimbangan suhu Bumi tak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang bisa kita perlakukan taken for granted karena manusia beraktivitas.
Bagaimana sebenarnya cara kerja pemanasan global? Menceritakan proses tersebut sungguh tak gampang. Pada akhirnya akan jatuh pada kecanggihan pemodelan. Mengapa? Penyebabnya tak lain adalah ukuran Bumi yang luar biasa besar. Sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan bagi kita melakukan pengukuran di tempat—seperti kita mengukur panjang dan lebar ubin rumah kita dengan menempelkan meteran.
Meski kini satelit sudah berseliweran di orbit Bumi untuk merekam data, tetap saja ada bidang-bidang kosong yang terlewat dari sapuan ”mata” satelit. Wilayah Indonesia merupakan salah satunya.
Buku The Greenhouse Challenge, What’s to be Done? (Jim Falk & Andrew Brownlow, 1989) mencoba mengungkapkan ”dapur ilmuwan” terkait dengan persoalan GRK yang mengganggu tidur nyenyak kita.
Memprediksi cuaca agak mudah karena rentang waktu antara pengamatan dan prediksi relatif pendek, harian atau mingguan, dan meliputi sebuah ruang yang relatif lebih sempit yang kadang bersifat sangat lokal.
Amat berbeda halnya apabila mau memprediksi soal pengaruh GRK pada masa mendatang. Masalahnya, interaksi yang terjadi antara GRK dengan atmosfer, lautan, dan biosfer ”amat luar biasa” kompleks untuk menjelaskan tinggi tingkat kompleksitas sistem iklim plus GRK di dalamnya. Interaksi tersebut bervariasi di tiap lembar ”sisiran” Bumi—menurut garis lintangnya, garis bujurnya, ketinggian lapisan udaranya, dan musim yang sedang berlangsung.
Dalam sains, kompleksitas suatu permasalahan coba disederhanakan dengan memasukkan sejumlah asumsi yang memunculkan sejumlah variabel, dengan pemikiran secermat-cermatnya akan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Kelemahannya, terbuka kemungkinan ada variabel penting yang tercecer. Selain itu, jangan lupakan bantuan besar dari teknologi dan ilmu pengetahuan sendiri.

Sejarah masa depan
Ketika kita tak berhasil secara tuntas menyingkap keseluruhan fenomena, tetapi kita bisa meneropong ke masa depan, berpijak dari kondisi sekarang, di sanalah kita bisa memulai sebuah kisah. Penyederhanaan tersebut memungkinkan kita ”menuturkan sejarah masa depan” (The Greenhouse Challenge, 1989). Menuturkan ”sejarah masa depan” karena kita sebenarnya tak tahu masa depan bakal seperti apa karena dia belum tiba. Namun, kita bisa memiliki gambaran akan masa depan berdasarkan gambaran yang kita miliki pada masa sekarang.
Ilmu terus berkembang, teknologi terus berkembang. Penuturan akan masa depan akan terus terjadi dengan metode yang sama. Kita bertutur dengan harapan gambarannya akan semakin akurat. Itulah yang terjadi dengan penuturan perubahan iklim. Semua bencana iklim diklaim sebagai akibat dari pemanasan global.
Hal nyata yang tak bisa ditolak adalah berlipat gandanya intensitas bencana memang kongruen dengan peningkatan konsentrasi GRK. Maka, kita lebih baik menggunakan bahasa perubahan iklim atau iklim ekstrem. Pasalnya, soal pemanasan global masih dibelit berbagai persoalan keilmuan.



Globalisasi vs internasionalisasi
Tinggalkan pembicaraan ilmu pengetahuan, mari kita ke meja perundingan di Durban. Perundingan di sana bukan didasarkan pada meteorologi atau klimatologi. Ilmu politik dan ekonomi telah berkelindan, dengan amat rumitnya dalam proses perundingan. Perhitungan untung-rugi secara materi dan sumber daya menjadi basis. Bencana yang mengancam manusia bukan lagi dasar perundingan.
Berbicara soal iklim ekstrem adalah berbicara soal ratusan juta manusia yang bakal tergusur dari tempat tinggalnya akibat bencana ekstrem, seperti banjir yang berminggu-minggu melanda Thailand dan Australia atau kekeringan yang memicu konflik antarsuku di Darfur, Afrika.
Tak heran jika upaya menahan laju emisi GRK menjadi seret. Periode kedua Protokol Kyoto sedang dalam pertaruhan. Tahap pertama protokol yang berakhir tahun depan telah gagal. Emisi GRK bukannya turun, melainkan justru meningkat dua digit.
Tata dunia global berlaku. Semua harus mengikuti satu pola, dan pola itu dikenakan oleh pihak yang kuat, oleh negara-negara kaya. Internasionalisasi ditinggalkan. Dalam pendekatan internasionalisasi, kedirian dan kekhasan setiap bangsa atau negara dihormati. Penderitaan dan seruan putus asa masyarakat Maladewa akan didengar dan mereka bakal dibantu. Bisa saja mereka sebenarnya memiliki jawab dari persoalan yang dihadapi. Hanya, mereka butuh dibantu untuk tegak berdiri sebab sumber daya bukan lagi milik mereka

0 komentar:

About This Blog

Blog Archive

About This Blog

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP