Jumat, 18 November 2011

fast food bermerk global


MARAKNYA MAKANAN CEPAT SAJI (FAST-FOOD)
(DITINJAU DARI ASPEK EPIDEMIOLOGI)

Paradigma sehat diharapkan bisa tercapai sesuai tujuan, namun di sisi lain arus globalisasi mengalir sangat deras pada ‘era modernisasi’ sekarang, sehingga mengalir pula budaya asing yang sering dianggap oleh sebagian besar masyarakat kita sebagai ‘budaya modern’, yang kalau tidak diantisipasi dengan baik justru dapat menghambat upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Secara garis besar makanan jenis fast-food bukan tidak boleh dikonsumsi tetapi perlu disikapi dengan tidak dijadikan sebagai kegemaran atau bahkan dijadikan sebagai pola hidup sehingga mengabaikan upaya preventif terhadap kesehatan secara menyeluruh. Hal ini yang tidak kalah pentingnya adalah transparansi dalam bentuk informasi yang benar, dengan mewajibkan pencantuman label komposisi zat gizi, bahan pewarna, pengawet, dan kandungan gizi, karena ini merupakan manifestasi dari hak asasi konsumen atas informasi.

Salah satu dari sekian banyak budaya tersebut adalah perubahan pola hidup bersahaja menjadi “pola hidup modern” atau “sok modern”, seperti budaya mengkonsumsi makanan cepat saji (fast-food) yang diikuti dengan merebaknya penggunaan kemasan berbahan dasar plastik dan Styrofoam yang dianggap praktis. Berbagai perubahan di atas tidak diikuti dengan kecukupan informasi yang benar antara lain informasi tentang kandungan zat-zat makanan yang berisiko menyebabkan beberapa penyakit tertentu. Sebagai contoh kurangnya informasi mengenai kandungan zat makanan yang terdapat dalam fast-food, berbagai risiko penyakit yang dicetuskan akibat kebiasaan mengkonsumsi fast-food serta bahaya kemasan fast-food berbahan dasar plastik dan styrofoam bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu yang tidak bisa dikesampingkan adalah kebanyakan bahan dasar fast-food menggunakan daging ternak yang mengandung hormon pertumbuhan, antibiotik dan mungkin melalui modifikasi genetic.

Mengapa disebut Fast-Food
Di Amerika Serikat bisnis fast-food muncul dari kebiasaan masyarakatnya melakukan perjalanan panjang antar kota melalui jalan raya. Fast-food adalah fenomena makanan pada pertengan abad ke-20. Ketika Ray Kroc pertama kali membuka restoran Mc Donalds di Des Plaines, Illinois pada tahun 1955, dia sangat menyadari bahwa banyaknya komunitas yang melakukan perjalanan panjang, mereka yang malas memasak dan tidak mau repot dengan urusan makanan rumah, tentunya akan merasa diberi kemudahan. Peluang tersebut juga ditangkap secara tangkas dengan mengawinkan jenis makanan fast-food dengan french fried potatoes (kentang goreng) dan soft drink (minuman ringan). Kini jaringan jalan raya dan kota-kota di Amerika Serikat telah dipenuhi ratusan ribu kedai fast-food, dan diperkirakan warganya menghabiskan uang tidak kurang dari 50 milyar dollar AS per tahun. (Dr. Michael F. Jacobson et.al. 1986, Direktur Eksekutif Center for Science in the Public Interest). Di negara asalnya ini, makanan jenis fast-food banyak dijajakan oleh pedagang kaki lima dan ironisnya sangat murah dan penikmatnya mayoritas masyarakat kelas bawah sehingga sering disebut dengan istilah junk-food.

Di Indonesia muncul berbagai restoran fast-food dengan dandanan yang lebih necis dibanding dengan Negara asalnya. Menu yang ditawarkan juga mengalami akulturasi dan seolah-olah terasa pas untuk lidah masyarakat indonesia dengan berbagai jenis paketnya, seperti pak eko (paket ekonomis), pahe (paket hemat), panas (paket nasi), kombo (kombinasi jumbo), astaga dan lain-lain yang begitu memikat di hati konsumen. Ditambah lagi dengan dimanjakannya konsumen dengan pelayanan kurir, tinggal pesan lalu antar. Oleh karena disajikan dengan praktis dan bisa dikonsumsi diselasela aktifitas maka makanan ini disebut dengan istilah fast-food.

Kemasan Makanan Jenis Fast-Food
Bukan hanya komposisi makanan jenis fast-food yang dianggap oleh para peneliti sangat berbahaya bagi kesehatan menusia, tetapi juga kemasan yang dipakai untuk menyajikan juga tidak kalah bahayanya.

Dewasa ini kemasan jenis plastik sudah menggantikan posisi kaca/keramik, kertas dan daun yang sudah dianggap “kuno” oleh sebagian masyarakat bahkan bisa dikatakan sebagai subkultur baru. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa kemasan jenis plastik atau mangkok dari bahan dasar styrofoam seperti pada makanan jenis fast-food, mi instan, minuman dan lain-lain mengandung polistiren dan PVC (polivinyl chloride) yang bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan mengandung dioksin yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Beberapa wadah fast-food yang dijajakan di pusat perbelanjaan ternyata mengandung PVC dengan kadar 95%, demikian juga dengan plastic wrap (plastik sangat tipis) yang diklaim tidak lumer dalam oven microwave. (YLKI, April 2000).Walaupun ada produsen plastic wrap yang menyatakan bahwa produknya sudah sesuai standar food grade yang aman dan tidak mengandung toksin selama digunakan dengan fungsi yang benar, namun siapa yang berani menjamin pemanasan dengan oven microwave tidak akan mengurai molekul plastik? Juga siapa yang berani menjamin kemasan plastik yang masuk ke Indonesia tidak mengandung residu monomer yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kanker? Berbagai Penelitian Epidemiologi Penelitian epidemiologi lain adalah pengaruh perubahan pola makan terhadap pola penyakit suatu populasi.

Penelitian lain dilakukan oleh mahasiswa jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga (GMSK) Institut Pertanian Bogor tahun 1997 menunjukkan bahwa 75% konsumen yang datang ke restoran fast-food ternyata pekerja kantoran, selebihnya pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga dan lain-lain. Waktu makan yang terbatas membuat para pekerja kantor memilih makan di restoran fast-food.

Pada kalangan masyarakat awam banyak yang menganggap bahwa kalori kentang goreng lebih rendah disbanding dengan nasi, padahal yang sebenarnya adalah total kalori kentang goreng lebih tinggi kalau digoreng dengan minyak atau lemak (kecuali yang dipanggang/oven), namun biasanya lemak hewan ditambahkan untuk menambahkan rasa gurih.

Penyakit yang Mungkin Dapat Ditimbulkan Pola makanan jenis ini secara berangsur bisa mengubah kondisi zat gizi masyarakat karena komposisi yang disajikan mayoritas didominasi oleh daging, keju, garam dan gula, yang notabene mengandung lemak jenuh dan kolesterol cukup tinggi. Sementara konsumsi sayuran, serat dan buah terus menurun. Sebenarnya kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi juga dimiliki oleh makanan tradisional yang banyak menggunakan santan kental dan minyak goreng bekas. Jika jenis makanan ini dikonsumsi secara rutin setiap hari dalam jangka panjang dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
·         Tidak sedikit yang mengalami obesitas/kegemukan
·         Penyakit jantung
·         Penyakit Stroke
·         Diabetes Mellitus
·         Kanker Payudara
·         Kanker hati
·         Kanker colorectal (usus besar dan rektum).
·         Dan mungkin penyakit-penyakit lainnya.

Kesimpulan 
     Selain jenis makanan fast-food, yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahaya dari kemasannya karena kebanyakan mengandung polistiren dan PVC, yang apabila molekulnya terurai oleh panas \ akan bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Perlu diwaspadai bahwa kebanyakan daging ternak untuk fast-food mengandung hormon pertumbuhan dan antibiotik, juga mungkin mengalami rekayasa genetik. 
     
    Hal penting lain yang harus dicemaskan adalah penggunaan minyak goreng bekas yang banyak digunakan pada masakan tradisional. Struktur molekul minyak goring diklaim bebas kolesterol oleh para produsen, tetapi setelah dipanaskan berkali-kali komponen lemak jenuh atau LDL (Low Dencity Lipoprotein) menjadi sangat tinggi yang bias sangat berbahaya bagi kesehatan jantung dan bias juga menyebabkan kerusakan hati.

      Sebagian kalangan menyatakan fastfood tidak perlu dijadikan momok, karena sebenarnya merupakan sumber lemak dan protein hewani. Tetapi jangan sampai makanan jenis ini dijadikan kebiasaan dan menu harian. Akan lebih baik pula apabila menu makanan ini dikombinasi dengan makanan berserat dari sayuran dan buah-buahan serta rutin melakukan olah raga.

    Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah transparansi dalam bentuk informasi yang benar. Jika produk makanan dan minuman diwajibkan oleh Departemen Kesehatan untuk mencantumkan label komposisi zat gizi, bahan pewarna, pengawet dan lain-lain, maka produsen makanan fast-food di Indonesia selayaknya diwajibkan pula mencantumkan kandungan gizi produknya, karena hal ini merupakan manifestasi dari hak asasi konsumen atas informasi.


DAFTAR PUSTAKA
Cecep Gunawan, Bahaya Lemak Frech Fries , www.nable.com/Taman Bintang. 2006

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Warta Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Depkes RI, 2006

0 komentar:

About This Blog

Blog Archive

About This Blog

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP